Monolit Tanah
Kegiatan karakterisasi lahan
bertujuan untuk mengumpulkan data karakteristik tanah dan iklim yang
berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan yang di
lahan kering, yaitu suhu,ketersediaan hara, retensi hara, toksisitas, bahaya
erosi dan penyiapan lahan (Djaenudin 2003).
Lahan Sulfat masam di Indonesia
tersebar meliputi daerah sepanjang Pantai Timur dan utara Pulau Sumatra, Pantai
Selatan dan Timur Pulau Kalimantan, Pantai Barat dan Timur Pulau Sulawesi dan
Pantai Selatan Papua. Berdasarkan Sigi tanah yang dilakukan Euroconsult (1984),
luas lahan Sulfat masam ditaksir 2,6 juta hektar, masing-masing 800 ribu hektar
tersebar di pulau Sumatra, 575 ribu hektar di pulau kalimantan dan 625ribu
hektar di pulau Papua. Hasil Sigi tanah yang dilakukan oleh Puslittanak-Bogor
(1990/1991) menyatakan bahwa luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70
juta hektar atau 20% dari luas rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari
luas lahan basah (Noor 2004).
Kegiatan karakterisasi lahan
bertujuan untuk mengumpulkan data karakteristik tanah dan iklim yang
berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan yang di
lahan kering, yaitu suhu, ketersediaan hara, retensi hara, toksisitas, bahaya
erosi dan penyiapan lahan, karakterisasi lahan yang dilakukan di 7 lokasi
penelitian meliputi pengamatan tubuh tanah faktor fisik lingkungan (lereng,
vegetasi/penggunaan lahan, keadaan batuan di permukaan dan lain-lain), dan
pengumpulan data iklim. Metode pengamatan tubuh tanah mengikuti FAO (1978).
Klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Subardja 2005).
Diversifikasi jenis pohon yang
ditanam (kayu, buah-buahan dan tanaman perkebunan) dengan umur yang bervariasi
pada suatu lahan dapat meningkatkan potensi lahan sebagai “sink” karbon.
Walaupun jumlah CO2 yang tersimpan relatif tidak banyak tetapi lahan
tidak pernah menjadi “zero sink”. Dari sisi ekonomi, upaya mempertahankan
diversitas pohon akan memberikan manfaat yang besar dalam mempertahankan
pendapatan petani (Suyamto 2006).
Batuan permukaan akan mempengaruhi
penggunaan dan pengelolaan lahan. Tanah yang terbawa oleh aliran permukaan juga
merupakan agen utama pembawa atau penyebar bahan-bahan pencemar di daerah
aliran permukaan (Suntoro 2005).
Aliran permukaan mempunyai sifat yang dinyatakan dalam
jumlah, kecepatan, laju dan gejolak aliran limpasan permukaan. Sifat-sifat
inilah yang mempengaruhi kemampuannya untuk menimbulkan erosi (Arsyad 2006).
Ordo-ordo tanah beserta garis
besar karakteristik dan penyebarannya adalah sebagai berikut:
1. Alfisol : yaitu tanah-tanah yang menyebar di
daerah-daerah semiarid (beriklim kering sedang) sampai daerah tropis
(lembap).Tanah ini terbentuk dari proses-proses pelapukan, serta telah
mengalami pencucian mineral liat dan unsur-unsur lainnya dari bagian lapisan permukaan
ke bagian subsoilnya (lapisan tanah bagian bawah), yang merupakan bagian yang
menyuplai air dan unsur hara untuk tanaman. Tanah ini cukup produktif untuk
pengembangan berbagai komoditas tanaman pertanian mulai tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan. Tingkat kesuburannya (secara kimiawi) tergolong
baik. pH-nya rata-rata mendekati netral. Di seluruh dunia diperkirakan Alfisol
penyebarannya meliputi 10% daratan.
2. Andisol : yaitu tanah yang pembentukannya melalui
proses-proses pelapukan yang menghasilkan mineral-mineral dengan struktur
kristal yang cukup rapih. Mineral-mineral ini mengakibatkan Andisol memiliki
daya pegang terhadap unsur hara dan air yang tinggi. Tanah ini umumnya dijumpai
di daerah-daerah yang dingin (pada ketinggian di atas 1000 m dpl) dengan
tingkat curah hujan yang sedang sampai tinggi, terutama daerah-daerah yang ada
hubungannya dengan material volkanik.
Andisol cenderung menjadi tanah
yang cukup produktif, terutama setelah diberi masukan amelioran (seperti pupuk
anorganik). Andisol seringkali dimanfaatkan orang untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan dan sayur-sayuran atau bunga-bungaan (seperti di daerah Lembang
Kabupaten Bandung). Andisol diperkirakan meliputi sekitar 1% dari luas
permukaan daratan dunia di luar daratan es.
3. Aridisol : adalah tanah-tanah yang berada di
daerah-daerah dengan tingkat kekeringan yang ekstrem (sangat kering), bahkan
sekalipun untuk petumbuhan vegetasi-vegetasi mesopit (seperti rumput).
Sehubungan dengan lingkungannya yang kering, Aridisol termasuk sangat sulit
dimanfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam, terutama apabila sumber air
untuk irigasi tidak tersedia (air tanah atau sungai).
Aridisol umumnya dijumpai di
padang-padang pasir dunia, dan diperkirakan luasnya mencakup sekitar 12% dari
daratan bumi (di luar daratan es).
4. Entisol : terjadi di daerah dengan bahan induk dari
pengendapan material baru atau di daerah-daerah tempat laju erosi atau
pengendapan lebih cepat dibandingkan dengan laju pembentukan tanah; seperti
daerah bukit pasir, daerah dengan kemiringan lahan yang curam, dan daerah
dataran banjir. Pertanian yang dikembangkan di tanah ini umumnya adalah padi
sawah secara monokultur atau digilir dengan sayuran/palawija. Entisol
diperkirakan terdapat sekitar 16% dari permukaan daratan bumi, di luar daratan
es.
5. Gelisol : adalah tanah yang terbentuk dalam
lingkungan permafrost (lingkungan yang sangat dingin). Dinamakan Gelisol,
karena terbentuknya dari material Gelic (campuran bahan mineral dan organik
tanah yang tersegregasi es pada lapisan yang aktif). Belum banyak penelitian
yang dilakukan terhadap jenis tanah ini, dan sehubungan dengan kondisinya yang
berada pada iklim yang ekstrim, diperkirakan tidak ada Gelisol yang
dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman. Diperkirakan penyebarannya meliputi
sekitar 9% daratan permukaan bumi.
6. Histosol (gambut) : merupakan tanah yang mengandung
bahan organik tinggi dan tidak mengalami permafrost. Kebanyakan selalu dalam
keadaan tergenang sepanjang tahun, atau telah didrainase oleh manusia. Histosol
biasa disebut sebagai gambut. Terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan, sampah hutan,
atau lumut yang cepat membusuk yang terdekomposisi dan terendapkan dalam air.
Penggunaan Histosol paling ekstensif adalah sebagai lahan pertanian, terutama
untuk tanaman sayur-sayuran seperti buncis, kacang panjang, bayam, dan
lain-lain. Histosol menyusun sekitar 1% dari daratan dunia.
7. Inceptisol : adalah tanah-tanah yang menyebar mulai
di lingkungan iklim semiarid (agak kering) sampai iklim lembap. Memiliki
tingkat pelapukan dan perkembangan tanah yang tergolong sedang . Umumnya tanah
ini bekembang dari formasi geologi tuff volkan, namun ada juga sebagian yang
terbentuk dari batuan sedimen seperti batu pasir (sandstone), batu lanau
(siltstone), atau batu liat (claystone).
Pemanfaatannya pun oleh manusia
bervariasi sangat luas pula, mulai untuk bercocok tanam hortikultura tanaman
pangan, sampai dikembangkan sebagai lahan-lahan perkebunan besar seperti sawit,
kakao, kopi, dan lain sebagainya, bahkan pada daerah-daerah yang eksotis,
dikembangkan pula untuk agrowisata. Inceptisol menyusun sekitar 17% dari tanah
dunia di luar daratan es.
8. Mollisol : adalah tanah yang mempunyai horison
(lapisan) permukaan berwarna gelap yang mengandung bahan organik yang tinggi.
Tanah ini kaya akan kation-kation basa, oleh karena itu tanah ini juga
tergolong sangat subur. Mollisol secara karakter terbentuk di bawah rumput
dalam iklim yang sedang. Tanah ini tersebar luas di daerah-daerah stepa di
Eropa, Asia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.
Walaupun dikatakan subur (dengan
kondisi yang dijelaskan di atas), namun intensitas pengelolaan dan
pemanfaatannya relatif masih rendah. Mollisol diperkirakan meliputi luasan
sekitar 7% dari tanah dunia.
9. Oxisol :adalah tanah yang telah mengalami pelapukan
tingkat lanjut di daerah-daerah subtropis dan tropis. Kandungan tanah ini
didominasi oleh mineral-mineral dengan aktivitas rendah, seperti kwarsa,
kaolin, dan besi oksida. Tanah ini memiliki kesuburan alami yang rendah. Reaksi
jenis tanah ini adalah masam, kandungan Al yang tinggi, unsur hara rendah,
sehingga diperlukan pengapuran dan pemupukan serta pengelolaan yang baik agar
tanah dapat menjadi produktif dan tidak rusak. Oxisol meliputi sekitar 8% dari
daratan dunia. Adapun di Indonesia, banyak dijumpai di Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua.
10. Spodosol : merupakan tanah yang terbentuk dari
proses-proses pelapukan yang di dalamnya terdapat lapisan iluviasi (penumpukan)
bahan organik berkombinasi dengan aluminium (dengan atau tanpa besi). Tanah ini
cenderung tidak subur (kurus unsur hara) dengn pH masam. Sebaiknya tanah
Spodosol tidak dijadikan lahan pertanian, tetapi tetap dibiarkan sebagai hutan.
Selain kesuburannya rendah, tanah ini juga peka terhadap erosi karena
teksturnya berpasir sehingga cenderung gembur (remah). Spodosol menyusun
sekitar 4% lahan-lahan di dunia.
11. Ultisol : adalah tanah-tanah yang terbentuk di
daerah yang lembap. Mengingat beberapa kendala dari tanah Ultisol, baik
ditinjau dari segi fisik, kimia, maupun biologinya, maka tanah ini sebaiknya
tidak digunakan untuk pertanian tanaman pangan terlalu intensif, dalam arti
jangan ditanami tanaman semusim sepanjang tahun, tetapi perlu diselingi dengan
tanaman pupuk hijau, serta lebih ditingkatkan penggunaan dan penanaman berbagai
jenis tanaman leguminosa.Ultisol diperkirakan meliputi sekitar 8% dari
lahan-lahan di dunia.
12. Vertisol: adalah tanah yang memiliki sifat khusus,
yakni mempunyai sifat vertik, karena mengandung banyak mineral liat yang mudah
mengembang apabila basah atau lembap, tetapi kembali mengerut apabila kering.
Akibatnya, tanah ini seringkali mengalami perubahan volume dengan berubahnya
kelembapan. Oleh karena itu, tanah ini dicirikan mempunyai rekahan yang membuka
dan menutup secara periodik. Sifat fisiknya yang konsisten keras, menjadikan
tanah ini termasuk berat untuk diolah. Tanah ini diperkirakan meliputi 2% dari
daratan di dunia.
Dari dua belas ordo tanah yang
telah diuraikan di atas, dua ordo di antaranya yaitu Aridisol dan Gelisol tidak
terdapat di bumi Indonesia, karena memang kedua jenis tanah ini berkembangnya
di daerah-daerah dengan kondisi iklim ekstrem. Sedangkan ordo tanah yang
lainnya telah dijumpai keberadaannya di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar