“Fungsi Komunikasi Sosial Budaya
Berbasis Kearifan Lokal
Dalam Mengurangi Konflik”
I.
LATAR
BELAKANG
Indonesia memiliki
berbagai keragaman budaya. Banyak hambatan-hambatan yang ditemui dalam
komunikasi antar individu maupun antar kelompok social dan sering menjadi
masalah karena adanya perbedaan-perbedaan latar belakang mereka.
Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta
perbedaan lainnya seperti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi
permasalahan inheren dalam proses komunikasi manusia.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut
dibutuhkan komunikasi yang efektif dan tepat, serta interaksi yang baik
diantara para pelaku komunikasi atau individu-indivdu yang terlibat dalam suatu
tatanan sistem sosial.
Perbedaan latar belakang ras dan suku, pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, gender dan sebagainya, tentu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya
berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan
maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal
bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
II.
PERMASALAHAN
Adapun
permasalahan yang di hadapi tercantum dalam perumusan masalah berikut ini:
- Apakah yang dimaksud dengan Komunikasi Sosial Budaya?
- Apakah yang dimaksud dengan Komunikasi Lintas Budaya?
- Apa itu Kearifan Lokal?
- Bagaimana akulturasi budaya dalam kearifan local?
- Apa yang dimaksud dengan konflik?
- Apa yang menyebabkan terjadinya konflik?
- Bagaimana cara mengatasi konflik?
- Apa saja hambatan dalam mengatasi konflik?
- Bagaimana peranan komunikasi lintas budaya dalam mencegah konflik?
III.
PEMBAHASAN
A.
KOMUNIKASI
SOSIAL BUDAYA
Interaksi dan
komunikasi akan melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya
social yang berbeda. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman latar
belakang social budaya, kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan
bahasa, lambing-lambang, nilai-nilai atau norma masyarakat dan lain sebagainya.
Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling
pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan yang lainnya.
1.
Pengertian
Komunikasi Sosial Budaya
Yang membedakan
komunikasi social budaya dengan studi komunikasi lainnya adalah perbedaan latar
belakang, pengalaman social budaya antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan-perbedaan
kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya seperti
kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren
dalam proses komunikasi manusia. Dapat dikatakan komunikasi social budaya
dianggap sebagai perluasan dari bidang studi komunikasi antarpribadi,
komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
Pengertian komunikasi
social budaya, ialah proses komunikasi yang melibatkan orang-orang yang berasal
dari lingkungan social budaya yang berbeda. Komunikasi social budaya terjadi
ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang social budaya yang berbeda
berinteraksi. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara
orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau
sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara
hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari
generasi ke generasi (Tubbs, Moss: 1996).
2.
Hakikat
Komunikasi Sosial Budaya
Dalam kehidupan
sehari-hari komunikasi social budaya adalah merupakan jenis komunikasi yang
sangat dominan, dan frekuensinya terjadi sangat tinggi. Karena peluang
berkomunikasi dengan orang yang berlatar belakang social budaya yang berbeda
sangat tinggi. Dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda usia, jenis kelamin,
status social budaya dan sebagainya akan selalu terjadi.
Proses komunikasi
jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan kasus, para
pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama. Sebuah kata
yang sama bunyinya, bisa jadi berbeda artinya . bahasa dapat terjadi dalam area
baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit,
multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak
sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa
berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter,
1994).
Kita biasanya tidak
menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai
baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang
kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, bahasa nonverbal, isyarat
atau symbol yang digunakan memiliki makna yang tidak sesuai dengan kita ketahui
selama ini.
3.
Pentingnya
Mempelajari Komunikasi Sosial Budaya
Mempelajari komunikasi
social budaya merupakan aktifitas penting dengan alasan sebagai berikut.
1. Interaksi
keseharian kita melibatkan orang-orang yang berasal dari berbagai latar
belakang social budaya.
2. Agar
komunikasi social budaya efektif, diperlukan usaha untuk memahami makna pesan
baik verbal maupun non verbal. Perbedaan pemaknaan pesan menjadi awal ancaman
komunikasi efektif.
3. Perlunya
mempelajari nilai-nilai social budaya dari orang-orang yang berinteraksi dengan
kita sehingga mis komunikasi dapat dihindari.
Tujuan kajian tentang komunikasi social
budaya adalah untuk mengantarkan kepada suatu kompetensi pengetahuan bahwa
perbedaan latar belakang social budaya dapat mengakibatkan kurang efektifnya
proses komunikasi.
Referensi
:
Komunikasi Sosial Budaya. Suranto (2010:31) Graha Ilmu, Yogyakarta.
B.
KOMUNIKASI
LINTAS BUDAYA
Komunikasi
lintas budaya adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu
penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka. (Hafied Cangara). Kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E. B Taylor)
Adapun komunikasi lintas
budaya sendiri didefinisikan sebagai:
- Komunikasi yang dilakukan oleh dua kebudayaan atau lebih,
- Komunikasi yang dilakukan sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi antar unsur kebudayaan itu sendiri, seperti komunikasi antar masyarakatnya.
Jika kita
gabungkan dari kedua pengertian tentang Komunikasi dan
kebudayaan (budaya) maka akan mendapatkan pengertian sebagai berikut :
“Komunikasi Lintas budaya adalah
proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu budaya yang satu kepada budaya
yang lainnya dan sebaliknya, dan hal ini bisa antar dua kebudayaan yang terkait
ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sama lainnya, baik itu
untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan,
atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua
kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan yang baru).”
Berbicara mengenai komunikasi
antar budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang diikuti
:
- Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
- Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13).
- komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
- Suatu proses pengiriman pesan yang dilakukan oleh anggota dari suatu budaya tertenti kepada anggota lainnya dari budaya lain
- Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.
Komunikasi
lintas budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran
pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.1 Ketika komunikasi
terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa,
komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. Jadi pada dasarnya KAB
mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi : apa makna
pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak
dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, bagaimana cara
mengkomunikasikannya (verbal dan nonverbal).
Komunikasi antarbudaya itu
dilakukan :
- Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang di pertentangkan.
- Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan di buat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama
- Sebagai pembimbing prilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap prilaku kita
- Menunjukan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.
Referensi
: Mulyana,
Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin (Eds.)KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
C.
KEARIFAN
LOKAL
Pengertian Kearifan lokal adalah suatu bentuk
kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau
daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka
Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan local merupakan tata
nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif.
Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada
tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan
oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik
yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk
perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan
berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya
yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan
lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta
adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa
kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta
dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh
berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak
hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah
laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani
manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari
maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis
norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka
norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun
dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan
yaitu kearifan lokal.
Konflik berkekerasan dan
tindakan kekerasan adlah dua praktek kehidupan tidak baik yang menjadikan
sebuah tatanan berkualitas rendah. Meskipun konflik dan persaingan merupakan
unsur proses sosial yang niscaya hadir dalam interaksi sosial sebagaimana
niscayanya kerjasam dan damai, tetapi konflik berkekerasan tetaplah praktek
kehidupan tidak baik dalam tatanan. Coser (1964) memang menunjukkan sejumlah
fungsi konflik bagi tatanan sosial, tetapi ketika konflik laten menjai manifest
tidak sekedar sebagai konflik bertujuan tetapi sebagai konflik berkekerasan
(violent conflict), maka ia adalah proses sosial yang tidak sekedar
mendisintegrasi tatanan sosial pada aras struktur tetapi membawa
derita-sengsara pada aras individu. Dalam pendasaran seperti itulah konflik
berkekerasan dan tindakan berkekerasan itu sendiri merupakan ketidakbaikan bagi
tatanan.
Referensi :
- Ibrahim, A. 2003. Sulesana : Kumpulan Esai tentang demokrasi dan kearifan lokal. Makassar : Lephas
- Ridwan, Abd., ”Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal”
D.
AKULTURASI
BUDAYA DALAM KEARIFAN LOKAL
Akulturasi budaya
adalah proses social yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsure-unsur suatu
kebudayaan lain sehingga unsure-unsur lain itu diterima dan disesuaikan dengan
unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan
asli. Contoh yang muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya
hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.
Kajian akulturasi
meliputi lima hal pokok, demikian yang dikemukakan koentjaranigrat (1997):
1. Masalah
mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses
akulturasi dalam suatu masyarakat.
2. Masalah
mengenai unsure-unsur kebudayaan yang mudah diterima dan sukar diterima oleh
masyarakat penerima.
3. Masalah
unsure kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan diubah dan unsure kebudayaan
mana saja yang tidak mudah diganti dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan
asing.
4. Masalah
mengenai individu-individu apa yang mudah dan cepat menerima, dan
individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsure-unsur kebudayaan
asing.
5. Masalah
mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis social yang timbul akibat adanya
akluturasi.
Referensi
:
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A., Kholis Ridho, S.Ag, M.Si, dan Drs. Nurochim,
M.M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. 2010
E.
KONFLIK
Konflik merupakan
gejala social yang serba hadir dalam kehidupan social, sehingga konflik
bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan
waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan
arena konfli atau arena pertentangan an integrasi yang senantiasa berlangsung.
Oleh karena itu konflik marupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan
social.
Di dalam International Encyclopedia of The Social
Science Vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik
berdasarkan aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan
antara paling tidak dua pihak, dimana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan,
keluarga, kelompok, kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan
kelas social pendukung ideology tertentu, satu organisasi politik, satu suku
bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu.
Secara sederhana
konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau
lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak
memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan
atau menyisihkan.
Heterogenitas suatu bangsa seringkali
menimbulkan konflik antarsuku, agama, ras dan antargolongan yang sering
diistilahkan konflik SARA. Selain itu, gejala diferensiasi social (penggolongan
social) jika tidak ditangani secara bijak akan menimbulkan kerawanan konflik
social. Selain keragaman sosiokultural, ketimpangan ekonomi juga memicu
kerawanan konflik social sebagai akibat kecemburuan social di antara para
anggota masyarakat.
Referensi
: Elly
M Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. 2011. Jakarta :Kencana hlm.
347-349
F.
PENYEBAB
KONFLIK
Para sosiolog
berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan social,
ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikian,
status social, dan kekuasaan yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Pada dasarnya, secara
sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu :
1. Kemajemukan
horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara
cultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara social dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan
konflik yang masing-masing unsure cultural tersebut mempunyai karakteristik
sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan
karakteristik budayanya tersebut.
2. Kemajemukan
vertical, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan
kekayaan, pendidikan dan kekuasaan. Kemajemukan vertical dapat menimbulkan
konflik social karena ada sekelompok kecil masyarakat. Polarisasi seperti ini
merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.
Selanjutnya, beberapa sosiolog
mnejabarkan kembali akar penyebab konflik secara lebih luas dan terperinci.
Mereka berpendapat bahwa yang menyebabkan timbulnya konflik adalah :
- Perbedaan antar individu; dalam realitas social tidak ada satupun karakter individu yang sama, sehingga perbedaan itulah yang memperngaruhi timbulnya konflik.
- Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik; benturan kepentingan dipicu oleh makin bebasnya berusaha, sehingga banyak dari para pengusaha yang memperebutkan wilayah pasar untuk mengembangkan usahanya.
- Perubahan social; perubahan yang mendadak akan menimbulkan konflik. Dimana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan baru masih simpang siur, sehingga akan memicu banyak orang untuk bertingkah “semau gue” yang akan menyebabkan benturan.
- Perbedaan kebudayaan yang akan mengakibatkan adanya perasaan in-group dan out-group yang biasanya akan diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya yang paling ideal dan benar.
Akan tetapi, para ahli
sosiolog berpendapat bahwa keempat factor tersebut bukanlah merupakan factor
utama penyebab konflik, melainkan factor-faktor yang memicu terjadinya konflik.
Sedangkan pandangan para penganut consensus berpendapat bahwa penyebab utama
dari konflik social adalah disfungsi
social. Yang artinya nilai-nilai dan norma-norma social yang ada di dalam
struktur social tidak lagi ditaati, pranata social, dan system pengendaliannya
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Referensi
: Elly
M Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. 2011. Jakarta :Kencana hlm. 360
G.
MENGATASI
KONFLIK
Menurut Nurudin
(2001:5) konflik adalah suatu keniscayaan yang realitasnya tidak bisa
dihindari. Konflik – konflik yang sudah terlanjur muncul dimasyarakat dapat
diatasi dengan cara :
a.
jika konflik itu
menyangkut kemajemuan horizontal, konflik dapat diselesaikan dengan
dilakukannya kemampuan semua pihak yang berkonflik untuk saling menyesuaikan
diri dengan kepentingan dan nilai pihak lain
b. jika
konflik itu menyangkut kemajemukan vertikal. Kalau yang menyangkut kekayaan,
maka bagaimana kekayaan itu mampu didistribusikan secara merata. Sedangkan
kalau menyangkut kekuasaan yakni posisi – posisi pemerintahan yang masyarakat
sesuai dengan porsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
c.
jika konflik menyangkut
kurangnya saluran kataris
(pembersihan) politik dengan cara bagaimana proses penyaluran aspirasi,
komentar,partisipasi dan unek – unek masyarakat bisa dilakukan atau
disampaikan.
Dengan demikian untuk meneka kenyataan
itu, ada 3 alternatif yang bisa diajukan
1. diciptakannya
(adanya) kemandirian yang cukup tinggi dari individu dan kelompok dalam
masyarakat utamanya ketika berhadapan dengan negara
2. adanya
ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara efektif dari
warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan degan kepentingan publik
3. adanya
kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis
Untuk mengantisipasi
konflik (Ralf Dahendrof) perlu pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok
sosial secara lebih baik karena dengan berbagai pengorganisasian secara baik
terhadap kelompok sosial yang ada akan membangun sebuah mekanisme kontrol
terhadap kecenderungan kelompok sosial tsb. Sebaliknya jika pengorganisasian
kelompok sosial tidak berjalan secara baik maka akan terbuka kemungkinan untuk
melakukan gerakan-gerakan sosial yang tidak bisa dikontrol dan Didalam konflik
terdapat prasangka yang kaitannya dengan stereotip.
Referensi :
1. Nasikun,
1995. Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
2. Ranjabar,
Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia
Indonesia. Bogor
H.
HAMBATAN
DALAM MENGATASI KONFLIK
Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang
harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan
akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai
berikut: (1) tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta
tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa
terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan
kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi itu
untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat
keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam
periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama
beberapa waktu.
Faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.
1. Kepribadian Individu
Yang Terlibat Konflik Stenberg dan Soriano (dalam Farida,
1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat
diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya.
Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung
menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor
intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan
konflik yang membuat konflik melunak. Dari karakteristik kepribadian dapat
diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan
untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk
menyerah atau tunduk) dan need for order (ke- butuhan untuk membuat teratur)
cenderung untuk memilih gaya- gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik
melunak. Sebalik- nya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy
(kebutuh- an untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan
untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu
gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.
Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996)
karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan
konflik adalah kecenderungan agresifitas, ke- cenderungan untuk mengontrol dan
menguasai, orientasi koope- ratif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati,
dan kemampu- an untuk menemukan pola penyelesaian konflik.
2. Situasional
Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan
struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga.
Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik,
maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh
pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebe-
lumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut.
Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam
menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau
justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki
hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan
membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak
yang berselisih dapat melunak- kan konflik karena pihak ketiga dapat berperan
sebagai mediator.
3. Interaksi
Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam men- cari
pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas.
Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah
interaksi dan saling mem- pengaruhinya determinan situasional dan
disposisional.
4. Isu Konflik
Tipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang
konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan
partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu
yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan
akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipe- tipe isu
yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang
tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu
permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang.
Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara
konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif,
konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas. Perluasan
ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap
sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa
dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut
harga diri dan kekuasaan.
I.
PERANAN
KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM MENCEGAH KONFLIK
Konflik-konflik social
yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan kebudayaan antar individu
maupun kelompok. Oleh karena itu, mempelajari Komunikasi Lintas Budaya memiliki
peranan tersendiri dalam upaya untuk mencegah konflik yang terjadi.
Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir
kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti
atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui
prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya
ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan
orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa
Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama,
latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi
lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai
berikut:
1.
Dunia
sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat
diperlukan.
2.
Semua
budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut
meskipun nilai-nilainya berbeda.
3.
Nilai-nilai
setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4.
Setiap
individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5.
Perbedaan-perbedaan
individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar
yang berlaku.
6.
Pemahaman
atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan
memahami nilai-nilai budaya lain.
7.
Dengan
mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita
memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan
masalah manusia.
8.
Pemahaman
atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang
memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu
bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia,
tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9.
Pengalaman-pengalaman
antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10.
Keterampilan-keterampilan
komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang
monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11.
Perbedaan-perbedaan
budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun
perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau
memudahkan.
12.
Situasi-situasi
komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang
komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini
kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan
serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling
memuaskan.
Sedangkan
mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan
bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1.
Menyadari bias budaya sendiri
2.
Lebih peka secara budaya
3.
Memperoleh
kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk
menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4.
Merangsang
pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5.
Memperluas dan memperdalam pengalaman
seseorang
6.
Mempelajari
keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi
komunikasinya sendiri.
7.
Membantu
memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan
makna bagi para anggotanya
8.
Membantu
memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam
budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan
keterbatasan-keterbatasannya.
9.
Membantu
memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi
antar budaya.
10.
Membantu
menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara
sistematis, dibandingkan, dan dipahami.
Dengan memahami pentingnya Komunikasi
Lintas Budaya, maka diharapkan konflik-konflik social yang diakibatkan oleh pergesekan
perbedaan budaya, dapat diminamlisir. Karena dengan mempelajari KLB, seseorang
akan lebih terbuka menerima perbedaan kebudayaan orang lain, dan menyadari
bahwa tak selamanya perbedaan akan terus menghasilkan konflik.
Referensi : Mulyana,
Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat. (Editor) Komunikasi
antar Budaya. Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1
KESIMPULAN:
Komunikasi social
budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang social budaya
yang berbeda berinteraksi. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang
terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda
ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Maka
dari itu diperlukan mempelajari komunikasi social budaya agar komunikasi yang
terjadi berjalan efektif kaena interaksi keseharian kita melibatkan orang-orang
yang berasal dari berbagai latar belakang social budaya. Kearifan local juga
berperan dalam upaya pengurangan konflik. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan
lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Dan
perlunya memahami komunikasi lintas budaya dianggap perlu sebagai pengetahuan
tambahan agar bisa lebih memahami dan dapat menerima perbedaan latar belakang
budaya yang ada di lingkungan sekitar kita.
4.2
SARAN:
Salah satu kendala
dalam menyelesaikan makalah ini adalah dikarenakan tidak adanya buku yang
dijadikan rujukan untuk mengerjakan tugas. Baik di perpustakaan Universitas
Riau, Perpustakaan Soeman HS, Perpustakaan FISIP maupun laboraturium Ilmu
Sosiologi, FISIP UR. Kedepannya diharapkan kepada dosen untuk memberikan
petunjuk dimana kami dapat menemukan buku yang bersangkutan.
V.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Elly M Setiadi dan Usman Kolip. 2011.
Pengantar Sosiologi.Jakarta :Kencana
2.
Ibrahim, A. 2003. Sulesana : Kumpulan Esai tentang
demokrasi dan kearifan lokal. Makassar : Lephas
3.
Suranto. Komunikasi Sosial Budaya. 2010.
Graha Ilmu, Yogyakarta.
4.
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin
(Eds.1). 2001. KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,PT
Remaja Rosdakarya, Bandung
5.
Ridwan, Abd., ”Resolusi Konflik Berbasis Kearifan
Lokal”
6.
Nasikun, 1995. Sistem
Sosial Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
7.
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A., Kholis
Ridho, S.Ag, M.Si, dan Drs. Nurochim, M.M. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Jakarta : Kencana
8.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial
Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor
mau bermain permainan online gratis & tidak ribet????
BalasHapusKlik >>>>>>> permainan online gratis
Ayo Segera Daftar Akun Bermain Anda..Gratiss..
Klik >>>>>>> Daftar Game online
Hubungi Segera:
WA: 087785425244
Cs 24 Jam Online
- Bonus 50% dari Deposit di Tahun Baru 2022
BalasHapus- Bonus Hanya Berlaku untuk permainan Slot Online HABANERO , PGSOFT , Pragmatic Play , CQ9 dan Spade Gaming
- Minimal Deposit Untuk mendapatkan bonus 50.000
- Maksimal Bonus yang di berikan adalah 250.000
- Bonus dapat di Claim secara Otomatis pada saat anda melakukan pindah dana ke permainan
- Periode Tanggal 1 Januari 2022
- Untuk melakukan withdraw harus mencapai minimal VBA (Valid Bet Amount) 5x dari deposit + Bonus
Contoh melakukan Deposit 100rb dan mendapatkan bonus 50rb untuk melakukan withdraw VBA anda harus mencapai (100+50) x5 = 750
Untuk melakukan Withdaw VBA anda harus mencapai 750
- Jika tidak mencapai syarat dan memaksa untuk melakukan withdraw , maka akan di kenakan potongan sebesar 2x Bonus yang di berikan
- Setiap akun hanya di perbolehkan melakukan claim 1 kali selama periode
- Keputusan Pihak MBO128 adalah mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat
- Pihak MBO128 berhak untuk menghentikan , menunda dan mengganti Event bila adanya hal-hal tertentu