Pages

Sabtu, 28 Mei 2016

“Fungsi Komunikasi Sosial Budaya Berbasis Kearifan Lokal Dalam Mengurangi Konflik”

“Fungsi Komunikasi Sosial Budaya Berbasis Kearifan Lokal
Dalam Mengurangi Konflik”



I.                  LATAR BELAKANG

Indonesia memiliki berbagai keragaman budaya. Banyak hambatan-hambatan yang ditemui dalam komunikasi antar individu maupun antar kelompok social dan sering menjadi masalah karena adanya perbedaan-perbedaan latar belakang mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya seperti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren dalam proses komunikasi manusia.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan komunikasi yang efektif dan tepat, serta interaksi yang baik diantara para pelaku komunikasi atau individu-indivdu yang terlibat dalam suatu tatanan sistem sosial.
Perbedaan latar belakang ras dan suku, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, gender dan sebagainya, tentu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.

  
 
II.               PERMASALAHAN



Adapun permasalahan yang di hadapi tercantum dalam perumusan masalah berikut ini:
  1. Apakah yang dimaksud dengan Komunikasi Sosial Budaya?
  2. Apakah yang dimaksud dengan Komunikasi Lintas Budaya?
  3. Apa itu Kearifan Lokal?
  4. Bagaimana akulturasi budaya dalam kearifan local?
  5. Apa yang dimaksud dengan konflik?
  6. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik?
  7. Bagaimana cara mengatasi konflik?
  8. Apa saja hambatan dalam mengatasi konflik?
  9. Bagaimana peranan komunikasi lintas budaya dalam mencegah konflik?  






III.           PEMBAHASAN

A.           KOMUNIKASI SOSIAL BUDAYA
Interaksi dan komunikasi akan melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya social yang berbeda. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman latar belakang social budaya, kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan bahasa, lambing-lambang, nilai-nilai atau norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan yang lainnya.

1.      Pengertian Komunikasi Sosial Budaya
Yang membedakan komunikasi social budaya dengan studi komunikasi lainnya adalah perbedaan latar belakang, pengalaman social budaya antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya seperti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren dalam proses komunikasi manusia. Dapat dikatakan komunikasi social budaya dianggap sebagai perluasan dari bidang studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
Pengertian komunikasi social budaya, ialah proses komunikasi yang melibatkan orang-orang yang berasal dari lingkungan social budaya yang berbeda. Komunikasi social budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang social budaya yang berbeda berinteraksi. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi (Tubbs, Moss: 1996).
2.      Hakikat Komunikasi Sosial Budaya
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi social budaya adalah merupakan jenis komunikasi yang sangat dominan, dan frekuensinya terjadi sangat tinggi. Karena peluang berkomunikasi dengan orang yang berlatar belakang social budaya yang berbeda sangat tinggi. Dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda usia, jenis kelamin, status social budaya dan sebagainya akan selalu terjadi.
Proses komunikasi jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan kasus, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama. Sebuah kata yang sama bunyinya, bisa jadi berbeda artinya . bahasa dapat terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994).
Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, bahasa nonverbal, isyarat atau symbol yang digunakan memiliki makna yang tidak sesuai dengan kita ketahui selama ini.
3.       Pentingnya Mempelajari Komunikasi Sosial Budaya
Mempelajari komunikasi social budaya merupakan aktifitas penting dengan alasan sebagai berikut.
1.      Interaksi keseharian kita melibatkan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang social budaya.
2.      Agar komunikasi social budaya efektif, diperlukan usaha untuk memahami makna pesan baik verbal maupun non verbal. Perbedaan pemaknaan pesan menjadi awal ancaman komunikasi efektif.
3.      Perlunya mempelajari nilai-nilai social budaya dari orang-orang yang berinteraksi dengan kita sehingga mis komunikasi dapat dihindari.

Tujuan kajian tentang komunikasi social budaya adalah untuk mengantarkan kepada suatu kompetensi pengetahuan bahwa perbedaan latar belakang social budaya dapat mengakibatkan kurang efektifnya proses komunikasi.

Referensi : Komunikasi Sosial Budaya. Suranto (2010:31) Graha Ilmu, Yogyakarta.




B.            KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Komunikasi lintas budaya adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. (Hafied Cangara). Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E. B Taylor)
Adapun komunikasi lintas budaya sendiri didefinisikan sebagai:
  1. Komunikasi yang dilakukan oleh dua kebudayaan atau lebih,
  2. Komunikasi yang dilakukan sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi antar unsur kebudayaan itu sendiri, seperti komunikasi antar masyarakatnya.

Jika kita gabungkan dari kedua pengertian tentang Komunikasi dan kebudayaan (budaya) maka akan mendapatkan pengertian sebagai berikut :
“Komunikasi Lintas budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu budaya yang satu kepada budaya yang lainnya dan sebaliknya, dan hal ini bisa antar dua kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sama lainnya, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan, atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan yang baru).”

Berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang diikuti :
  •  Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
  •  Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13).
  • komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
  • Suatu proses pengiriman pesan yang dilakukan oleh anggota dari suatu budaya tertenti kepada anggota lainnya dari budaya lain
  • Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya.

Komunikasi  lintas budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.1 Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. Jadi pada dasarnya KAB mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi : apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, bagaimana cara mengkomunikasikannya (verbal dan nonverbal).
Komunikasi antarbudaya itu dilakukan :
  • Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang di pertentangkan.
  •  Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan di buat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama
  • Sebagai pembimbing prilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap prilaku kita
  •  Menunjukan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara. 

Referensi : Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin (Eds.)KOMUNIKASI ANTARBUDAYA : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001


C.           KEARIFAN LOKAL
Pengertian Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.
 Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Konflik berkekerasan dan tindakan kekerasan adlah dua praktek kehidupan tidak baik yang menjadikan sebuah tatanan berkualitas rendah. Meskipun konflik dan persaingan merupakan unsur proses sosial yang niscaya hadir dalam interaksi sosial sebagaimana niscayanya kerjasam dan damai, tetapi konflik berkekerasan tetaplah praktek kehidupan tidak baik dalam tatanan. Coser (1964) memang menunjukkan sejumlah fungsi konflik bagi tatanan sosial, tetapi ketika konflik laten menjai manifest tidak sekedar sebagai konflik bertujuan tetapi sebagai konflik berkekerasan (violent conflict), maka ia adalah proses sosial yang tidak sekedar mendisintegrasi tatanan sosial pada aras struktur tetapi membawa derita-sengsara pada aras individu. Dalam pendasaran seperti itulah konflik berkekerasan dan tindakan berkekerasan itu sendiri merupakan ketidakbaikan bagi tatanan.
Referensi :
  1. Ibrahim, A. 2003. Sulesana : Kumpulan Esai tentang demokrasi dan kearifan lokal. Makassar : Lephas
  2. Ridwan, Abd., ”Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal”


D.           AKULTURASI BUDAYA DALAM KEARIFAN LOKAL
Akulturasi budaya adalah proses social yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu sedemikian rupa dipengaruhi oleh unsure-unsur suatu kebudayaan lain sehingga unsure-unsur lain itu diterima dan disesuaikan dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan asli. Contoh yang muncul adalah ketika pihak pribumi mulai menerima penggunaan gaya hidup, seperti bahasa, mode pakaian, dan sopan santun ala barat.
Kajian akulturasi meliputi lima hal pokok, demikian yang dikemukakan koentjaranigrat (1997):
1.      Masalah mengenai metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
2.      Masalah mengenai unsure-unsur kebudayaan yang mudah diterima dan sukar diterima oleh masyarakat penerima.
3.      Masalah unsure kebudayaan mana saja yang mudah diganti dan diubah dan unsure kebudayaan mana saja yang tidak mudah diganti dan diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
4.      Masalah mengenai individu-individu apa yang mudah dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsure-unsur kebudayaan asing.
5.      Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis social yang timbul akibat adanya akluturasi.

Referensi : Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A., Kholis Ridho, S.Ag, M.Si, dan Drs. Nurochim, M.M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana. 2010

E.            KONFLIK
Konflik merupakan gejala social yang serba hadir dalam kehidupan social, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konfli atau arena pertentangan an integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh karena itu konflik marupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan social.
Di dalam International Encyclopedia of The Social Science Vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik berdasarkan aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak, dimana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok, kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas social pendukung ideology tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu.
Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan.
 Heterogenitas suatu bangsa seringkali menimbulkan konflik antarsuku, agama, ras dan antargolongan yang sering diistilahkan konflik SARA. Selain itu, gejala diferensiasi social (penggolongan social) jika tidak ditangani secara bijak akan menimbulkan kerawanan konflik social. Selain keragaman sosiokultural, ketimpangan ekonomi juga memicu kerawanan konflik social sebagai akibat kecemburuan social di antara para anggota masyarakat.

Referensi : Elly M Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. 2011. Jakarta :Kencana hlm. 347-349


F.            PENYEBAB KONFLIK
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan social, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikian, status social, dan kekuasaan yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu :
1.      Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara social dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsure cultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
2.      Kemajemukan vertical, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan dan kekuasaan. Kemajemukan vertical dapat menimbulkan konflik social karena ada sekelompok kecil masyarakat. Polarisasi seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.

Selanjutnya, beberapa sosiolog mnejabarkan kembali akar penyebab konflik secara lebih luas dan terperinci. Mereka berpendapat bahwa yang menyebabkan timbulnya konflik adalah :
  1. Perbedaan antar individu; dalam realitas social tidak ada satupun karakter individu yang sama, sehingga perbedaan itulah yang memperngaruhi timbulnya konflik.
  2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik; benturan kepentingan dipicu oleh makin bebasnya berusaha, sehingga banyak dari para pengusaha yang memperebutkan wilayah pasar untuk mengembangkan usahanya.
  3. Perubahan social; perubahan yang mendadak akan menimbulkan konflik. Dimana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan baru masih simpang siur, sehingga akan memicu banyak orang untuk bertingkah “semau gue” yang akan menyebabkan benturan.
  4. Perbedaan kebudayaan yang akan mengakibatkan adanya perasaan in-group dan out-group yang biasanya akan diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya yang paling ideal dan benar.
Akan tetapi, para ahli sosiolog berpendapat bahwa keempat factor tersebut bukanlah merupakan factor utama penyebab konflik, melainkan factor-faktor yang memicu terjadinya konflik. Sedangkan pandangan para penganut consensus berpendapat bahwa penyebab utama dari konflik social adalah disfungsi social. Yang artinya nilai-nilai dan norma-norma social yang ada di dalam struktur social tidak lagi ditaati, pranata social, dan system pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Referensi : Elly M Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. 2011. Jakarta :Kencana hlm. 360

G.           MENGATASI KONFLIK
Menurut Nurudin (2001:5) konflik adalah suatu keniscayaan yang realitasnya tidak bisa dihindari. Konflik – konflik yang sudah terlanjur muncul dimasyarakat dapat diatasi dengan cara :
a.       jika konflik itu menyangkut kemajemuan horizontal, konflik dapat diselesaikan dengan dilakukannya kemampuan semua pihak yang berkonflik untuk saling menyesuaikan diri dengan kepentingan dan nilai pihak lain
b.      jika konflik itu menyangkut kemajemukan vertikal. Kalau yang menyangkut kekayaan, maka bagaimana kekayaan itu mampu didistribusikan secara merata. Sedangkan kalau menyangkut kekuasaan yakni posisi – posisi pemerintahan yang masyarakat sesuai dengan porsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
c.       jika konflik menyangkut kurangnya saluran kataris (pembersihan) politik dengan cara bagaimana proses penyaluran aspirasi, komentar,partisipasi dan unek – unek masyarakat bisa dilakukan atau disampaikan.
Dengan demikian untuk meneka kenyataan itu, ada 3 alternatif yang bisa diajukan
1.      diciptakannya (adanya) kemandirian yang cukup tinggi dari individu dan kelompok dalam masyarakat utamanya ketika berhadapan dengan negara
2.      adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara efektif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan degan kepentingan publik
3.      adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis
Untuk mengantisipasi konflik (Ralf Dahendrof) perlu pengorganisasian terhadap kelompok-kelompok sosial secara lebih baik karena dengan berbagai pengorganisasian secara baik terhadap kelompok sosial yang ada akan membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap kecenderungan kelompok sosial tsb. Sebaliknya jika pengorganisasian kelompok sosial tidak berjalan secara baik maka akan terbuka kemungkinan untuk melakukan gerakan-gerakan sosial yang tidak bisa dikontrol dan Didalam konflik terdapat prasangka yang kaitannya dengan stereotip.

Referensi :
1.      Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
2.      Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor

H.           HAMBATAN DALAM MENGATASI KONFLIK
Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1) tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama beberapa waktu.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.
1. Kepribadian Individu
Yang Terlibat Konflik Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (ke- butuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gaya- gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Sebalik- nya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuh- an untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.
Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan agresifitas, ke- cenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi koope- ratif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampu- an untuk menemukan pola penyelesaian konflik.

2. Situasional
Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebe- lumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunak- kan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator.
3. Interaksi
Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam men- cari pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mem- pengaruhinya determinan situasional dan disposisional.

4. Isu Konflik
Tipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipe- tipe isu yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang.

Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas. Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan.

I.              PERANAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM MENCEGAH KONFLIK
Konflik-konflik social yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan kebudayaan antar individu maupun kelompok. Oleh karena itu, mempelajari Komunikasi Lintas Budaya memiliki peranan tersendiri dalam upaya untuk mencegah konflik yang terjadi.
Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut:
1.             Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2.             Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3.             Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4.             Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5.             Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6.             Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7.             Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8.             Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9.             Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10.         Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11.         Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
12.         Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1.             Menyadari bias budaya sendiri
2.             Lebih peka secara budaya
3.             Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4.             Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5.             Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6.             Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7.             Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
8.             Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9.             Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
10.         Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.
Dengan memahami pentingnya Komunikasi Lintas Budaya, maka diharapkan konflik-konflik social yang diakibatkan oleh pergesekan perbedaan budaya, dapat diminamlisir. Karena dengan mempelajari KLB, seseorang akan lebih terbuka menerima perbedaan kebudayaan orang lain, dan menyadari bahwa tak selamanya perbedaan akan terus menghasilkan konflik.
Referensi : Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat. (Editor) Komunikasi antar Budaya. Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996
IV.           KESIMPULAN DAN SARAN
4.1         KESIMPULAN:
Komunikasi social budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang social budaya yang berbeda berinteraksi. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Maka dari itu diperlukan mempelajari komunikasi social budaya agar komunikasi yang terjadi berjalan efektif kaena interaksi keseharian kita melibatkan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang social budaya. Kearifan local juga berperan dalam upaya pengurangan konflik. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Dan perlunya memahami komunikasi lintas budaya dianggap perlu sebagai pengetahuan tambahan agar bisa lebih memahami dan dapat menerima perbedaan latar belakang budaya yang ada di lingkungan sekitar kita.

4.2         SARAN:
Salah satu kendala dalam menyelesaikan makalah ini adalah dikarenakan tidak adanya buku yang dijadikan rujukan untuk mengerjakan tugas. Baik di perpustakaan Universitas Riau, Perpustakaan Soeman HS, Perpustakaan FISIP maupun laboraturium Ilmu Sosiologi, FISIP UR. Kedepannya diharapkan kepada dosen untuk memberikan petunjuk dimana kami dapat menemukan buku yang bersangkutan.










V.         DAFTAR PUSTAKA


1.             Elly M Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi.Jakarta :Kencana
2.             Ibrahim, A. 2003. Sulesana : Kumpulan Esai tentang demokrasi dan kearifan lokal. Makassar : Lephas
3.             Suranto. Komunikasi Sosial Budaya. 2010. Graha Ilmu, Yogyakarta.
4.             Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin (Eds.1). 2001. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,PT Remaja Rosdakarya, Bandung
5.             Ridwan, Abd., ”Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal”
6.             Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Pers. Jakarta.
7.             Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A., Kholis Ridho, S.Ag, M.Si, dan Drs. Nurochim, M.M. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana
8.             Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Bogor

2 komentar:

  1. mau bermain permainan online gratis & tidak ribet????
    Klik >>>>>>> permainan online gratis

    Ayo Segera Daftar Akun Bermain Anda..Gratiss..

    Klik >>>>>>> Daftar Game online

    Hubungi Segera:
    WA: 087785425244
    Cs 24 Jam Online

    BalasHapus
  2. - Bonus 50% dari Deposit di Tahun Baru 2022
    - Bonus Hanya Berlaku untuk permainan Slot Online HABANERO , PGSOFT , Pragmatic Play , CQ9 dan Spade Gaming
    - Minimal Deposit Untuk mendapatkan bonus 50.000
    - Maksimal Bonus yang di berikan adalah 250.000
    - Bonus dapat di Claim secara Otomatis pada saat anda melakukan pindah dana ke permainan
    - Periode Tanggal 1 Januari 2022

    - Untuk melakukan withdraw harus mencapai minimal VBA (Valid Bet Amount) 5x dari deposit + Bonus
    Contoh melakukan Deposit 100rb dan mendapatkan bonus 50rb untuk melakukan withdraw VBA anda harus mencapai (100+50) x5 = 750
    Untuk melakukan Withdaw VBA anda harus mencapai 750

    - Jika tidak mencapai syarat dan memaksa untuk melakukan withdraw , maka akan di kenakan potongan sebesar 2x Bonus yang di berikan
    - Setiap akun hanya di perbolehkan melakukan claim 1 kali selama periode
    - Keputusan Pihak MBO128 adalah mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat
    - Pihak MBO128 berhak untuk menghentikan , menunda dan mengganti Event bila adanya hal-hal tertentu

    BalasHapus